oleh: Irfan Bahiuddin dan Habiburrahman (Master at Agriculture Science, King Saud University)
Tulisan ini dimuat kembali dengan seijin pengarang dari buku Nyata Bekerja, Cerdas Berkarya, 18 Catatan untuk Indonesia yang telah diterbitkan PPIM dan diluncurkan pada saat laporan pertanggungjawaban di Kongres PPIM ke-9 yang dilaksanakan pada tanggal 17 Desember 2017, UTM Kuala Lumpur. Buku bisa didownload di sini.
Semua tulisan di buku ini di bawah licence berikut:
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial 4.0 International License.
Semua tulisan di buku ini di bawah licence berikut:
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial 4.0 International License.
Generasi millennial (lahir kisaran 1980-2000 an) sudah sering diajarkan di bangku SD bahwa negara Indonesia adalah negara agraris, negara yang salah satu penghasilan utamanya adalah dari sektor pertanian. Bahkan banyak dari kita hafal kapan swasembada beras dicapai, yaitu 1985. Namun, sayang, kejayaan sektor agraris hanya berlaku sebentar. Di era selanjutnya, swasembada beras hanya bisa menjadi perbincangan dan keinginan semata. Pemerintah pun berusaha untuk meningkatkan produksi pertanian kita. Salah satu produk yang bisa dijadikan parameter adalah beras. Sebetulnya, produksi beras bertambah sejak tahun 2010 sampai tahun 2015, sebesar 1,13 % per tahun. Namun, persentase pertumbuhan penduduk lebih tinggi daripada produksi beras tersebut, yaitu sebesar 1,4 % per tahun
Berbagai solusi telah ditawarkan untuk mencapai kembali kejayaan agrarian Indonesia. Salah satu solusi yang cukup popular adalah mekanisasi pertanian. Mekanisasi pertanian berhasil diterapkan di beberapa negara dan terbukti bisa mendongkrak kecepatan produksi secara cukup signifikan. Negara-negara yang berhasil menerapkan mekanisasi pertaniannya adalah Pakistan dan Korea Selatan, dengan peningkatan ekspor sebesar 75 % untuk Pakistan dan matangnya teknologi pertanian di Korea Selatan. Bahkan, negara tetangga kita, Philipina dan Thailand, cenderung lebih cepat dari pada Indonesia dalam penerapan teknologi pertanian [2] .
Pemerintah Indonesia sebetulnya sudah berusaha mengaplikasikan mekanisasi pertanian sejak 1960 an. Namun, berbagai reaksi muncul pada masa itu. Mulai dari pendapat sosiolog akan kekhawatiran munculnya pengangguran secara masif, sampai harga peralatan pertanian yang tidak terjangkau oleh masyarakat [3] . Namun, saat ini, mekanisasi pertanian sudah bisa diterapkan karena alasan-alasan tersebut sudah tidak valid. Di samping banyaknya subsidi untuk pembelian peralatan pertanian, tenaga kerja sektor pertanian mengalami penurunan setiap tahunnya. Sebagai contoh, tenaga kerja sektor pertanian pada tahun 2014 mengalami penurunan 5 % dari tahun 2011 atau sekitar 2 juta orang [4] . Yang lebih mengkhawatirkan lagi, tenaga kerja didominasi oleh orang yang sudah berumur lebih dari 45 tahun [5] . Hal ini menunjukkan minat para pemuda yang kurang untuk bercocok tanam. Pekerjaan di kota atau pabrik menjadi hal yang lebih menarik dan mempunyai prestige yang lebih tinggi dari pada sekedar bertani di rumah.
Sedangkan, penerapan dan pengenalan teknologi pertanian akan semakin sulit jika yang menjadi pelaksana dan sasaran adalah petani yang berumur lebih dari setengah baya. Oleh karena itu, sudah saatnya pemuda mengambil peluang untuk menjadi penggerak revolusi teknologi pertanian. Untuk berpindah dari proses pertanian tradisional menuju proses pertanian modern dengan dukungan mekanisasi pertanian, diperlukan tambahan sumber daya manusia yang siap di-upgrade menjadi pengguna alat-alat atau bahkan sebagai teknisi. Pemuda akan lebih terbuka dan lebih mudah untuk dididik menjadi pengguna ataupun teknisi alat-alat mekanisasi pertanian.
Mekanisasi pertanian?
Untuk memaknai dan memahami suatu duduk permasalahan hal ini, pembaca perlu mengenal lebih jauh tentang arti mekanisasi pertanian itu sendiri. Mekanisasi pertanian (Farm Mechanization) dapat didefinisikan sebagai ilmu tentang penggunaan alat dan mesin pertanian serta penggeraknya yang bisa berupa manusia, hewan, motor atau mekanisme lainnya [6] . Dari sisi ilmu teknik agrikultur (agriculture engineering), mekanisasi pertanian tidak hanya terbatas pada mesin pertanian tapi juga tentang manajemen yang meliputi pengolahan tanah, teknik bercocok tanam, penyediaan air/irigasi, pemupukan, pemungutan hasil sampai produk yang siap untuk dijual atau dipasarkan [3] . Pengertian yang kedua mempunyai arti yang lebih luas dan komprehensif.
Dengan diberlakukannya mekanisasi pertanian, proses produksi akan lebih efisien dan efektif. Ongkos produksi padi diperkirakan dapat ditekan dari Rp. 1,2 juta per hectare menjadi sekitar Rp. 600.000,00 – Rp 700.000,00 per hectare [5] . Waktu yang diperlukan untuk setiap jadwal bisa direncanakan tepat waktu dan bahkan lebih cepat. Di samping itu, status petani akan meningkat ke jenjang yang lebih baik dan dalam waktu yang lebih singkat untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatannya.
Penerapan mekanisasi pertanian memerlukan persiapan yang tidak mudah. Sumber daya manusia harus cukup melingkupi tenaga professional manajemen, teknisi/mekanik, operator atau pengguna alat. Fasilitas dan peralatan pun jangan sampai dilupakan, seperti perbengkelan, bahan bakar, pelumas dan suku cadang.
Polemik dahulu dan sekarang?
Seperti di singgung di awal, mekanisasi mendapat hambatan dari berbagai sisi, yaitu sosial, teknis, dan manajemen. Dari sosial, pakar sosiologi menganggap bahwa ketika mesin menjadi popular, maka orang akan digantikan oleh mesin. Padahal, 70-80 % penduduk mempunyai pekerjaan utamanya di sector pertanian. Di samping itu, rata-rata rakyat pada tahun 1960 an mempunyai penghasilan yang tidak mampu untuk membeli atau menggunakan mesin pertanian. Hal ini bertambah runyam ketika pelbagai hal teknis dihadapi yang bisa berbeda setiap tempat aplikasi. Sebagai contoh, sulitnya suku cadang mesin pada tahun 1960-1970 an. Beberapa kali terjadi salah penggunaan alat oleh petani. Dari sisi manajemen, nampak kurangnya berkualitas training atau transfer teknologi dari vendor kepada petani. [3]
Alasan-alasan tersebut lama kelamaan bisa diatasi. Menurunnya minat pemuda untuk bertani membuat pemerintah mendorong mekanisasi pertanian untuk berjalan dengan lancar. Hal ini dibuktikan dengan terus naiknya anggaran pemerintah untuk meningkatkan pengadaan unit terkait mekanisasi pertanian. Pada tahun 2015, unit yang direncanakan berjumlah hanya sekitar 20.000 unit bertambah menjadi 80.000 ribuan unit pada tahun 2017 ini [7] .
Tapi kebijakan pemerintah akan terhenti kalau seandainya sumber daya manusianya tidak disiapkan. Jika persiapan aplikasi mekanisasi pertanian tidak diimbani dengan pendekatan yang menyeluruh, maka bisa dipastikan proses mekanisasi pertanian akan gagal; dan unit-unit mesin yang dianggarkan oleh pemerintah akan mangkrak. Seperti sekarang ini, banyak pertanyaan kenapa pertumbuhan pertanian belum optimal walau bantuan alat sudah ditingkatkan [7] apakah hal ini karena perencanaan atau eksekusi yang kurang holistik/menyeluruh [8] .
Saatnya pemuda bergerak
Pemuda sebagai salah satu energi terbarukan dari sebuah negeri diharapkan bisa menjadi salah satu solusi krisis tenaga kerja di desa dan bidang-bidang terkait pengaplikasian mekanisasi pertanian. Apalagi, seperti yang disampaikan oleh kementrian pertanian sekarang, salah satu target dari mekanisasi pertanian adalah pemuda mau balik desa dan ada istilah ‘petani berdasi’ [4] . Tetapi, terlepas dari itu, kemungkinan keterlibatan pemuda dalam proses mekanisasi pertanian ini cukup luas terutama jika dikaitkan dengan definisi kedua seperti yang telah disebutkan tadi [3] . Kemungkinan bidang yang diperlukan adalah tenaga kerja di lingkungan petaninya sendiri, sosio preneur dan managemen, teknologi, dan sebagai peneliti dan industri/praktisi.
Lingkungan Petani
Di lingkungan petani sendiri, petani yang didominasi kaum tua sudah saatnya harus mencari penerus-penerusnya yang lebih muda. Salah satu yang penting adalah pemilik lahan yang perlu banyak belajar tentang teknik bercocok tanam, teknologi itu sendiri dan juga ilmu manajemen yang diperlukan untuk mengaturnya. Seandainya hal ini tidak dicapai maka solusi yang bisa dimunculkan adalah pengelolaan secara grouping.
Secara komunal, perlu ada seorang yang mengkoordinir dan mengajak masyarakat tani untuk membeli alat pertanian secara bersama-sama dan mengelola dengan baik hasil tanamannya. Hal ini juga sesuai anjuran pemerintah bahwa agar mesin-mesin yang agak mahal dapat dibeli secara grup. Koperasi pun bisa menjadi solusi sekaligus menghindari tengkulak yang terkadang memainkan harga pasar. Jikalau suatu saat nanti di dalam pulau Jawa sudah berhasil diaplikasikan, masih banyak tanah yang belum tergarap di luar jawa [9] .
Teknologi
Seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa aplikasi mekanisasi pertanian perlu banyak kesiapan. Banyak bidang-bidang yang perlu diisi, di antaranya teknisi, operator, peneliti, pemilik pabrik dan lain. Tapi belum tentu ada orang yang mau dan mampu mengisinya. Dari sini saja, mekanisasi pertanian menunjukkan bahwa bisa jadi tenaga tidak berpendidikan dan berketrampilan tidak diperlukan lagi, tapi tenaga kerja yang sudah mengenyam pendidikan tinggi dan berketrampilan khususlah yang diperlukan-yang tentu lebih cocok dengan kondisi zaman ini-.
Di sisi lain, sudah cukup banyak putra putri petani atau desa yang kuliah di perguruan tinggi dan atau sekolah kejuruan. Sebagian mengambil jurusan teknik atau pertanian atau ekonomi atau manajemen. Begitu lulus, tidak sedikit yang bekerja tidak sesuai bidangnya dan bahkan menganggur. Keberhasilan mekanisasi pertanian suatu saat nanti akan bisa membuka lapangan kerja baru dan mengatasi permasalahan melimpahnya lulusan menganggur dan kurangnya tenaga kerja di desa.
Untuk para peneliti muda, pintu-pintu kemauan untuk berkontribusi itu ada. Peralatan pertanian yang diperbantukan oleh pemerintah Indonesia masih banyak yang impor, sekitar 60-70 % [10] . Idealnya negri kita mampu menggunakan teknologi pertanian dari dalam negri sendiri. Ada beberapa teknologi yang sudah berhasil dikembangkan, tapi masih perlu lebih banyak lagi [11] . Pemunculan suatu teknologi hasil karya Indonesia sendiri tidaklah mudah, tidak hanya sekedar adopsi teknologi karena setiap teknologi punya paten. Terkadang, perijinan untuk menggunakan sebuah paten pun tidak mudah -walaupun akan membayar royalty-. Oleh karena itu, peneliti Indonesia perlu mengembangkan desain sendiri dan membuat inovasi sendiri. Indonesia mampu untuk membuat produk sendiri. Salah satu buktinya adalah teknologi Indonesia yang cukup ‘diminati’ oleh salah satu pengusaha Jepang [12] .
Begitulah, gencarnya pemerintah dalam memunculkan mekanisasi pertanian adalah kesempatan bagi para pemuda untuk ikut berpartisipasi dalam hal-hal tersebut. Mari kita luaskan scope cita-cita kita yang dari hanya sebatas pegawai bank atau kantoran ke hal-hal yang lebih positif untuk negri, dalam hal ini adalah mekanisasi pertanian.
Sumber
[1]
|
administrator, "Bergegas Dalam Penggunaan Teknologi Mesin di Bidang Pertanian," 2017. [Online]. Available: http://ppijepang.org/index.php/jurnal/Umum/2017/3/3/839. [Accessed 17 September 2017].
|
[2]
|
A. Masykur, "Mekanisasi Pertanian Menjadikan Indonesia Raksasa Pangan Asia," 2016. [Online]. Available: http://www.rmol.co/read/2016/03/18/239991/Mekanisasi-Pertanian-Menjadikan-Indonesia-Raksasa-Pangan-Asia-. [Accessed 17 September 2017].
|
[3]
|
A. Priyanto, "Penerapan Mekanisasi Pertanian.," Buletin Keteknikan Pertanian, vol. 11, no. 1, p. 54, 1997.
|
[4]
|
A. Kurniawan, "Ajak Kaum Muda Bertani Modern dengan Mekanisasi," 2017. [Online]. Available: https://ekbis.sindonews.com/read/1220051/34/ajak-kaum-muda-bertani-modern-dengan-mekanisasi-1499852729. [Accessed 17 September 2017].
|
[5]
|
Tribunpangan, "Mekanisasi Kunci Menekan Biaya Produksi Padi Indonesia," 2017. [Online]. Available: https://tribunpangan.com/2017/07/28/mekanisasi-kunci-menekan-biaya-produksi-padi-indonesia/. [Accessed 17 September 2017].
|
[6]
|
A. Tusi, "MEKANISASI PERTANIAN: PENDAHULUAN," September 2014. [Online]. Available: http://staff.unila.ac.id/atusi/2014/09/25/mekanisasi-pertanian-pendahuluan/. [Accessed 17 September 2017].
|
[7]
|
A. N. Alfi, "Meski Anggaran Terus Naik, Mekanisasi Pertanian Belum Optimal," 2017. [Online]. Available: http://industri.bisnis.com/read/20170804/99/678186/meski-anggaran-terus-naik-mekanisasi-pertanian-belum-optimal. [Accessed 18 September 2017].
|
[8]
|
YK/SB/fdl/WP, "Infrastruktur Pertanian Harus Berkesinambungan dan Holistik," 2016. [Online]. Available: http://www.koran-jakarta.com/infrastruktur-pertanian-harus-berkesinambungan-dan-holistik/. [Accessed 17 September 2017].
|
[9]
|
M. Idris, "Pemerintah Siapkan 3,2 Juta Ha Lahan Pertanian di Luar Jawa," 2017. [Online]. Available: https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/3621706/pemerintah-siapkan-32-juta-ha-lahan-pertanian-di-luar-jawa. [Accessed 17 September 2017].
|
[10]
|
C. Arifin, "Alat Mesin Pertanian Indonesia Masih Andalkan Produk Impor," 2016. [Online]. Available: http://www.tribunnews.com/bisnis/2016/11/22/alat-mesin-pertanian-indonesia-masih-andalkan-produk-impor. [Accessed 17 September 2017].
|
[11]
|
G. N. Purba, "Mekanisasi Pertanian Hasil Kerja Keras Peneliti," 2017. [Online]. Available: http://ekonomi.metrotvnews.com/mikro/Gbm6vyOk-mekanisasi-pertanian-hasil-kerja-keras-peneliti. [Accessed 17 September 2017].
|
[12]
|
Kemenperin, "Pegusaha Jepang Minat Mesin Pertanian Nasional di PPI 2016," 2017. [Online]. [Accessed 17 September 2017].
|
Komentar
Posting Komentar