Banyak dari kita mempunyai keinginan untuk ke luar negri. Hal ini didukung dengan mudahnya teknologi informasi dan transportasi disertai dorongan untuk mendapatkan pengalaman dan kawan baru. Tentu kita mempunyai tujuan masing-masing yang akan berbanding lurus dengan manfaat yang kita dapat. Mental kita akan diuji dengan tuntutan untuk bisa mandiri karena jauhnya teman-teman dan keluarga kita di Indonesia. Kemampuan bahasa asing pun bisa ditingkatkan lebih mudah karena mau tidak mau harus menggunakannya untuk berkomunikasi dengan warga setempat di kehidupan sehari-hari. Di samping itu, budaya yang relatif baru akan membuat pikiran kita lebih terbuka dan lebih bisa menerima perbedaan.
Namun, di balik semua itu, ada risiko
yang sebetulnya harus kita antisipasi.Sebagai seorang muslim, aqidah, iman, dan akhlaq tentu merupakan salah satu pertimbangan yang sangat perlu diperhatikan, terutama jika tujuan kita bukanlah negri yang mayoritas muslim.
Rasulullah ﷺ sudah menyatakan berlepas diri dari orang-orang yang tinggal di negri kafir [1], kecuali orang-orang yang memang punya udzur atau keperluan yang diperbolehkan, seperti berdakwah, menuntut ilmu yang ilmunya tidak dapat ditemukan di negri muslim, berdagang dan lain-lain. Syarat dan udzur adalah lingkup pembahasan tersendiri. Jadi secara default bisa dikatakan hukumnya tidak boleh belajar ke negri minoritas muslim. Ada tulisan beberapa Ulama’ yang cukup bagus tentang uraian syarat bepergian ke negeri kafir, di antaranya adalah [2],[3]. Pendapat para ulama’ yang mungkin relatif ‘kaku’ tersebut sebetulnya cukup beralasan karena lingkungan bisa mengubah kita tanpa sadar. Sebagai contoh, dari sekian teman yang ke luar negri, orang yang menjadi tidak islami cukup banyak. Salah satunya adalah satu akhwat yang bekerja di Eropa dan pacaran dengan orang sana. Jilbab yang dulu dia kenakan dia lepas. Larangan untuk mengambil seorang non-muslim sebagai suami pun dia langgar dengan mudah. Risiko lain yang dipertaruhkan adalah rasa keterikatan terhadap Indonesia. Jadi pikirkanlah 1000 kali sebelum mengambil kuliah di negri yang mayoritas non-muslim.
Rasulullah ﷺ sudah menyatakan berlepas diri dari orang-orang yang tinggal di negri kafir [1], kecuali orang-orang yang memang punya udzur atau keperluan yang diperbolehkan, seperti berdakwah, menuntut ilmu yang ilmunya tidak dapat ditemukan di negri muslim, berdagang dan lain-lain. Syarat dan udzur adalah lingkup pembahasan tersendiri. Jadi secara default bisa dikatakan hukumnya tidak boleh belajar ke negri minoritas muslim. Ada tulisan beberapa Ulama’ yang cukup bagus tentang uraian syarat bepergian ke negeri kafir, di antaranya adalah [2],[3]. Pendapat para ulama’ yang mungkin relatif ‘kaku’ tersebut sebetulnya cukup beralasan karena lingkungan bisa mengubah kita tanpa sadar. Sebagai contoh, dari sekian teman yang ke luar negri, orang yang menjadi tidak islami cukup banyak. Salah satunya adalah satu akhwat yang bekerja di Eropa dan pacaran dengan orang sana. Jilbab yang dulu dia kenakan dia lepas. Larangan untuk mengambil seorang non-muslim sebagai suami pun dia langgar dengan mudah. Risiko lain yang dipertaruhkan adalah rasa keterikatan terhadap Indonesia. Jadi pikirkanlah 1000 kali sebelum mengambil kuliah di negri yang mayoritas non-muslim.
Risiko kedua yang perlu diantisipasi adalah rasa ingin berkontribusi pada Umat di Indonesia. Rasa ingin berkontribusi ini cukup
mempunyai nilai karena beberapa alasan. Satu hal adalah perintah Rasulullah ﷺ
untuk taat kepada ulil amri yang dalam konteks ini adalah penguasa [4]. Ulil
Amri bisa diartikan sebagai penguasa, ulama, shahabat Rasulullah ﷺ,
dan yang mengkhususkan pada Abu Bakr dan Umar [5]. Hal lain adalah tentang
perintah Rasulullah ﷺ untuk bermanfaat kepada manusia agar menjadi sebaik-baik
manusia [6]. Jika kita berkontribusi pada Indonesia berarti kita akan memberikan
manfaat bagi orang sebanyak kurang lebih seperempat milyar jiwa. Terlebih lagi,
mayoritas masyarakat di Indonesia adalah muslim yang notabene adalah saudara
seaqidah kita. Hal ini tentu saja mengandung keutamaan-keutamaan tersendiri [7].
Ketika kita pergi ke manca negara,
rasa keterikatan ini bisa menjadi semakin kuat atau lemah. Fenomena culture
shock adalah faktor utama yang membuat kita berubah. Pada umumnya, culture
shock terbagi menjadi empat (4) tahap, yaitu tahap euforia/kegembiraan (‘the
honeymoon’), terganggu (‘culture shock’), masa penyesuaian, dan masa
setelah adaptasi (‘biculturalism’) [8]. Pada tahap pertama, rasa takjub
akan mendominasi dan motivasi belajar budaya baru tersebut akan meledak-ledak. Tahap
selanjutnya, euforia berganti dengan rasa
kangen akan rumah dan perbedaan-perbedaan antara adat kita dan negeri yang
didatangi yang bisa jadi diikuti oleh rasa stress yang muncul. Lama kelamaan,
pemahaman akan budaya dan nilai negeri yang didatangi akan semakin meningkat
dan merasa bahwa kita bisa menyelesaikan masalah perbedaan yang muncul. Pada
akhirnya, dua budaya akan berada pada diri kita dan bisa saling bersinergi. Lebih
baik lagi, kita sepatutnya bisa memilah manakah budaya yang baik untuk diri
kita dan tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam atau mengandung syubhat. Namun,
adakalanya seseorang terlalu memuja atau silau dengan peradaban yang menurut
mereka baru sehingga melupakan identitas dirinya sebagai orang Islam dan
Indonesia.
Agar tetap bisa menjaga identitas sebagai
orang Islam dan Indonesia, siapkan diri kita dengan tujuan yang jelas, bekal ilmu
agama dan teknis yang cukup sebelum berangkat. Ilmu-ilmu syar’I dan aqidah
perlu dikuatkan betul-betul agar tidak jatuh kepada syubhat dan maksiat. Penulis
ambil contoh di Jepang. Banyak sekali hal-hal syubhat terkait dengan aqidah di
sana, misalnya, perayaan Tanabata dengan menggantungkan kertas
bertuliskan mimpi dan harapan kita di pohon. Padahal, hal ini termasuk
perbuatan syirik yang dilarang oleh Rasulullah ﷺ [9]. Ilmu teknis tentang
komposisi makanan yang halal dan haram pun juga diperlukan karena susah
ditemukan kedai makan yang dikelola oleh orang muslim. Sedangkan di Eropa dan
Amerika, akhlaq dan tata krama sebagai orang Islam dan Indonesia pun akan
diuji. Pergaulan bebas dan pemikiran yang sangat liberal menjadi tantangan
utama. Bahkan ketika datang ke negri muslim pun, ilmu agama dan teknis tetap
harus dipersiapkan karena kita akan jauh dari orang yang menguatkan ketika
lemah dan menegur ketika salah.
Saat tiba di lokasi, tindakan, teman
dan lingkungan yang tepat harus dipilih baik-baik. Untuk menjaga iman dan
akhlaq, carilah kawan-kawan dan komunitas yang sholih. Untuk memupuk keinginan
kontribusi ke Indonesia, bagi pelajar, berkumpul dan diskusi dengan mahasiswa
lain merupakan salah satu hal yang penting untuk dilakukan. Tentunya dengan
wawasan budaya, teknologi dan cara kerja yang baru membuka peluang-peluang
solusi yang mungkin bagi Indonesia. Pergaulan dengan sesama pendatang dari
berbagai negri pun bisa mengajari diri kita untuk lebih baik dalam membangun
koneksi dan mentoleransi perbedaan. Tambahan catatan yang menarik adalah,
ketika kita merantau ke luar negri, maka akan banyak pengetahuan dan wawasan
yang terbuka, mulai dari pekerjaan yang gajinya berlipat-lipat dari pada di
Indonesia, fasilitas dan jaminan hidup yang membuat nyaman, sampai tingkah laku
warga setempat yang sesuai dengan rasa kita. Oleh karena itu, ingat kembali niat
dan tujuan awal. Indonesia adalah kampung halaman kita, di sanalah keluarga
kita berada dan banyak yang harus diperjuangkan. Jika pilihan jatuh untuk
berkarya di luar negeri, maka jangan sampai melupakan Indonesia. Dan terakhir, sekeras apapun usaha
kita jika tidak dikehendaki oleh Allah maka keinginan kita tidak akan terwujud
atau terwujud tapi tiada barakah di dalamnya. Oleh karena itu, perbanyaklah doa
dan kuatkan usaha.
Referensi
[1] Hadits-hadits terkait di antaranya:
أَنَا بَرِيْ مِنْ كُلِّ مُسْلِمٍ
يُقِيْمُ بَيْنَ أَظْهُرِ الْمُشْرِكِيْنَ
“Aku berlepas diri dari setiap muslim yang
tinggal di tengah-tengah kaum musyrikin”. [Hadits Riwayat Abu Dawud dalam
Al-Jihad 2645, At-Tumudzi dalam As-Sair 1604, An-Nasa’i dalam Al-Qasamah 8/36]
لاَ يَقْبَلُ اللَّهُ مِنْ مُشْرِكٍ
أَشْرَكَ بَعْدَ مَـا أَسْلَمَ عَمَـلاً حَتَّى يُفَارِقَ الْمُشْرِكِيْنَ إِلَى
الْمُسْلِمِيْنَ
“Allah tidak akan menerima amal dari
seorang musyrik yang berbuat syirik setelah sebelumnya memeluk Islam sehingga
ia memisahkan diri dari kaum musyrikin dan kembali kepada kaum muslimin”.
[Hadits Riwayat An-Nasa’i dalam Az-Zakah 5/83, Ibnu Majah dalam Al-Hudud 2536,
Ahmad 5/504]
[2] Al Utsaimin, Muhammad bi Shalih. https://almanhaj.or.id/999-syarat-tinggal-di-negeri-kafir.html. Diakses pada 30 Juli 2017.
[3] Fahrudin. https://www.kiblat.net/2015/08/13/tinggal-di-wilayah-mayoritas-kafir-bagaimana-ketentuannya.
Diakses pada 30 Juli 2017.
[4] hadits terkait
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ حَقٌّ ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ
بِالْمَعْصِيَةِ ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
“Patuh dan taat pada pemimpin tetap
ada selama bukan dalam maksiat. Jika diperintah dalam maksiat, maka tidak ada
kepatuhan dan ketaatan.” (HR. Bukhari, no. 2955)
[5] Tuasikal, Muhammad Abduh. https://rumaysho.com/13707-renungan-07-taat-pada-ulil-amri.html. Diakses 30 Juli 2017.
[6] hadits-hadits terkait
عَنِ جابر، رَضِيَ الله عَنْهُمَا،
قَالَ : قال رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم: خَيْرُ النَّاسِ
أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
Artinya: “Jabir radhiyallau
‘anhuma bercerita bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sebaik-baik
manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR. Ahmad, ath-Thabrani,
ad-Daruqutni. Hadits ini dihasankan oleh al-Albani di dalam Shahihul
Jami’ no:3289)
[7] hadits-hadits terkait
مَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ
الله فِي حَاجَتِهِ
“Barangsiapa membantu keperluan
saudaranya, maka Allah akan membantu keperluannya.” (Muttafaq ‘alaih)
Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda:
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً
مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ الله عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ
الْقِيَامَةِ, ةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ الله عَلَيْهِ فِي
الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ
“Barang siapa yang memudah kesulitan
seorang mu’min dari berbagai kesulitan-kesulitan dunia, Allah akan memudahkan
kesulitan-kesulitannya pada hari kiamat. Dan siapa yang memudahkan orang yang
sedang dalam kesulitan niscaya akan Allah memudahkan baginya di dunia dan
akhirat” (HR. Muslim).
[9] Dari ‘Uqbah bin ‘Amir, ia berkata bahwa ia mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَعَلَّقَ تَمِيمَةً فَلاَ
أَتَمَّ اللَّهُ لَهُ وَمَنْ تَعَلَّقَ وَدَعَةً فَلاَ وَدَعَ اللَّهُ لَهُ
“Barangsiapa yang menggantungkan
(hati) pada tamimah (jimat), maka Allah tidak akan menyelesaikan urusannya.
Barangsiapa yang menggantungkan (hati) pada kerang (untuk mencegah dari ‘ain,
yaitu mata hasad atau iri, pen), maka Allah tidak akan memberikan kepadanya
jaminan” (HR. Ahmad 4: 154. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits
ini hasan –dilihat dari jalur lain-).
Komentar
Posting Komentar